Selamat datang di situs resmi Pengadilan Tinggi Banten   Klik untuk mendengarkan teks yang sudah di blok Selamat datang di situs resmi Pengadilan Tinggi Banten Pendukung Untuk Pengguna Difabel

  •  
     
     
     
     
  • \"abana\"
  • Pembacaan dan Penandatanganan Pakta Integritas

    Senin, 13 Januari 2025: Ketua Pengadilan Tinggi Banten Dr. H. Suharjono, S.H., M.Hum. memimpin Pembacaan dan Penandatanganan Pakta Integritas Hakim dan Aparatur Peradilan Pengadilan Tinggi Banten.

  • Mendukung Fitur Aksesibilitas Bagi Pengguna Difabel

    Situs Pengadilan Negeri Purbalingga sudah memiliki fitur konversi teks ke suara untuk membantu para pencari keadilan khusus difabel dalam mengambil informasi di situs Pengadilan

    Lebih Lanjut

  • Sistem Informasi Penelusuran Perkara

    Sistem Informasi Penelusuran Perkara adalah aplikasi resmi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk membantu para pencari keadilan dalam monitoring proses penyelesaian perkara yang ada di Pengadilan Negeri Purbalingga

    Masuk SIPP

LAYANAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Prosedur Pengaduan

design

Syarat dan tata cara pengaduan mengacu pada PERMA Nomor 9 Tahun 2016 tentang  Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) Di Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Dibawahnya


Lebih Lanjut

Prosedur Bantuan Hukum

abana

Mahkamah Agung RI pada tanggal 9 Januari 2014 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan Negeri Purbalingga


Lebih Lanjut

Dilema Zone Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani antara Substantif dan Formalitasnya

on Thursday, 23 January 2025. Posted in Artikel

Dilema Zone Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani antara Substantif dan Formalitasnya

Oleh :  Dr. Suharjono

(Ketua Pengadilan Tinggi Banten)

 

    Suatu upaya sebagai suatu beleid atau kebijakan yang dikembangkan dalam kurun yang lama dalam membangun integritas telah dilakukan. Namun proses yang panjang pun bukan berarti akan begitu mudah menggapai suatu harapan yang berupa satu kata yakni integritas.  Hal ini bisa dimengerti mengingat membangun sesuatu yang bersifat immateriil bukan sesuatu yang mudah, bahkan membangun sesuatu yang bersifat demikian lebih sulit dari membangun sesuatu yang bersifat materiil atau phisik.

    Proses dan pendekatan yang bersifat ilmiah dan filsafat pun perlu dilakulan, agar pembangunan integritas yang lebih bersifat berawal atau bersumber pada perubahan pola pikir dan perubahan budaya kerja dapat diwujudkan. Pembangunan perubahan pola pikir dan budaya kerja manusia itu pun bukan suatu soal yang mudah, meski sebenarnya banyak variabel pendukung upaya pembangunan integritas telah dilakukan dan berjalan secara berkesinambungan.

     Dalam  pembangunan zone integritas telah dikembangkan secara metodis, ilmiah, filsafat dan pendekatan manajemen. Hal ini dapat dilihat pada kriteria dan patokan pengembangan berdasar area2 pada zone integritas yang meliputi 6 area yang berupa : 1.manajemen perubahan, 2.penataan tata laksana, 3.penataan sistim manajemen SDM, 4. penguatan akuntabilitas kinerja, 5.penguatan pengawasan dan 6.penguatan kualitas pelayanan publik.

    Pada setiap area tersebut terdapat suatu program kegiatan atau rencana aksi dan inovasi, yang masing2 harus ada target yang akan dicapai dan indikator pencapaiannya, dilakukan monitoring dan evaluasi serta pelaporan berdasarkan ceklist yang jelas, terukur, dan berkesinambungan serta bernilai tertentu. Penilaian2 pun dilakukan secara bertahap sesuai model atau metode yang telah dikembangkan.

    Atas upaya2 yang dilakukan dalam membangun zone integritas dengan pendekatan ilmiah,filsafat, manajemen dan metodis tersebut menimbulkan suatu pertanyaan besar dan mendasar, apakah dapat menjamin kepastian pencapaian target yang ditentukan yang bersifat pencapaian substantif bukan formalitas semata.

    Tentu pertanyaan tersebut bukan sesuatu hal yang mudah begitu saja untuk dapat dijawab, mengingat masalah integritas adalah sesuatu yang bersifat immateriil dan idealis bukan sebagai sesuatu yang bersifat realitas yang secara relatif mudah dalam upaya pencapaiannya.

    Dengan rencana aksi atau kegiatan atau program, target capaian, dan indikator capaian serta evaluasi dan penilaiannya, hanyalah sebagai upaya2 untuk dapat memperpendek jarak antara realitas dengan idealitasnya atau antara substantif dengan formalitasnya. Padahal integritas pada hakikatnya secara substantif haruslah bersifat kesadaran mandiri yang bermakna sebagai ketulusan yang bukan disebabkan karena  sistim, pengaruh, kekuasaan, kebijakan, formalitas, dorongan atau paksaan. Bahkan secara mendasar dan mendalam pada hakikatnya masalah integritas yang menjadi tujuannya adalah manusia atau subyek atau personal, bukan pada zone atau area atau wilayah, yang secara filosofis atau hakikat adalah sebagai sesuatu yang tidak mungkin mencapainya karena zone adalah bersifat obyek yang berupa materi atau benda yang tidak mungkin memiliki suatu kesadaran atau pemikiran.

    Penekanan pembangunan integritas pada manusia atau personal atau subyek bukan pada obyek bukan hal yang bersifat tanpa alasan yang mendasar, mengingat dengan membangun dan menekankan pada manusia atau pribadi akan bersifat terintegrasi pada subyek atau personalnya, maka dimana pun pribadi atau SDM berada akan bersifat terintegrasi tetap memiliki integritas bukan tergantung pada zone atau wilayah, sehingga jika pun keluar dari area atau zone atau wilayah akan tetap terpatri dengan integritasnya, dalam bahasa agama, yang dibangun dengan kesadaran adalah kesadaran tasawuf atau hakikat, bukan semata ditekankan pada fiqihnya.

    Pembangunan zone integritas jika menekankan pada persyaratan2 yang bersifat pemenuhan formalitas2 yang ditentukan, bukan sesuatu hal yang tidak mungkin bila terjadi sesuatu yang bersifat substantif yang terjadi adalah sebaliknya. Karena bisa terjadi suatu kejadian atau fakta berdasarkan observasi obyektif, pada institusi atau satker tertentu sudah sampai pada tingkat capaian zero korupsi dan pelayanan prima, hanya karena persyaratan2 formalitas, upaya pencapaian predikat zone integritas menuju WBK dan WBBM pun tidak atau belum tergapai, sebaliknya pada institusi2 atau satker tertentu yang sudah berpredikat zone integritas menuju WBK dan WBBM masih melekat suatu nuansa atau kondisi yang bersifat koruptif dan pelayanan belum prima.

    Hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak dapat dinisbikan begitu saja. Di satu sisi pada suatu institusi atau satker yang sudah zero dari korupsi dan terjadi pelayanan prima, tidak menggapai sertifikasi zone integritas, padahal selain sudah berupaya memenuhi persyaratan2 atau formalitas2 yang ditentukan, juga secara substantif telah pada.pencapaian tingkat tinggi yakni zero korupsi dan pelayanan prima, akan menjadikan suatu absurditas, yang bisa jadi satker atau institusi yang pada pencapaian zone integritas secara substantif tersebut akan tidak bergairah atau bersemangat lagi dalam upaya mencapainya. Tetapi sebaliknya pada institusi atau satker yang secara formalitas telah memenuhi persyaratan zone integritas walau secara substantif tidak atau belum dapat dipastikan sudah pada nuansa zero korupsi atau pelayanan prima atau tidaknya tetapi malah mendapat predikat zone integritas. Apalagi mengingat secara riil pada upaya mencapai zone integritas dilakukan dengan pendekatan atau metode kampanye atau sosialisasi, sebagai upaya pencitraan, bisa jadi setelah sertifikasi zone integritas diraihnya, malah sebagai penutup atau tirai atau topeng dari yang mungkin terjadi sebaliknya, karena tidak sesuai realita atau substantifnya.

    Pembangunan integritas pada hakikatnya adalah pembangunan karanter atau jati diri, sehingga penekanan utamanya pada personil atau pelaku dalam zone integritas, bukan pada zone atau wilayahnya,sehingga dituntut pembangunan yang bersifat terus menerus yang berkelanjutan, yang dalam bahasa agama bisa dipadankan dengan pembangunan iman seseorang, iman itu sendiri bersifat menebal atau menipis atau naik turun dalam kurun waktu tertentu atau situasi tertentu. Sehingga dalam membangun zone integritas perlu strategi dan upaya tertentu, agar dapat mencapai tingkatan antara substantif dengan formalitasnya tidak terlalu berjarak. Dengan demikian pembangunan zone integritas perlu ditekankan pada subyek pelaku zone integritas itu sendiri, dengan penekanan pada pola pikir dan budaya kerja. Hal ini sebagai strategi untuk mengintegratifkan dan mensubstantifkan antara esensi atau isi atau substatif zone integritas dengan persyaratan2 formalitasnya,sehingga tidak begitu berjarak.

    Suatu langkah yang bernilai atau bermakna, seperti yang dilakukan oleh suatu lembaga melakukan survey secara elektronik dengan responden yang banyak dan menyeluruh, yang digunakan untuk mengukur kesehatan kerja pada organisasi,dengan hasil sebagai Total indeks kesehatan organisasi yakni : 1. Tingkat internalisasi nilai2 utama budaya kerja sangat rendah, 2. Tidak menunjulkan fokus pada hal2 yang berhubungan dengan kinerja unggul, 3. Potensi pegawai atau SDM pada zone nyaman,4. Pimpinan dipandang sebagai teladan,5. Perlu evaluasi terhadap sistim orientasi bekerja, mengingat masih pada tingkatan kepentingan diri, 6. Penerapan disiplin dan integritas masih pada tingkatan karena sistim,bukan kesadaran yang berupa dorongan dari dalam diri.

    Hasil survey kesehatan kerja organisasi dapat menunjukkan dengan jelas dan terang akan kondisi kesehatan kinerja SDM dan organisasinya. Survey tersebut sebagai data obyektif yang perlu upaya2 solutif dari masalah2 yang terjadi dan risiko yang  ada. Karena dengan hasil survey tersebut sebagai dasar utama atau pijakan yang perlu dilakukan sebagai pemecahan2 berdasar diagnosa yang tepat dan benar. Dengan adanya kejelasan data masalah yang terjadi dan kemungkinan risiko yang akan terjadi, bukan hanya sebagai suatu asumsi atau hipotesis semata, maka perlu dilakukan upaya2 strategi solusi atau pemecahan dengan pendekatan ilmiah dan filsafat, atau solusi secara idealis dan realis. Solusi dengan pendekatan ilmiah atau keilmuan, khususnya keilmuan manajemen, yang meliputi, perencanaan, pengorganisasian,pelaksanaan, pengawasan atau pengendalian, selain itu secara pendekatan manajemen risiko dan teori SWOT, sehingga pemecahan atas hasil survey dapat dilakukan pendekatan secara komprehensif, integratif dan holistik.

    Solusi atas masalah2 yang terjadi atau risiko yang kemungkinan terjadi, pada hakikatnya bersifat mengatasi problem dan risiko, sebagai proses berkelanjutan untuk mencapai zone integritas menuju WBK dan WBBM, sekaligus untuk memperpendek jarak atau gap antara das sein dengan das sollen atau antara substantif dengan formalitasnya dan dilema  yang kemungkinan terjadi  di dalamnya dalam upaya menggapai nilai2 utama suatu organisasi yang dapat berupa : kemandirian, integritas, kejujuran, akuntabilitas, responsibilitas, keterbukaan, ketidak berpihakan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Hormat Dr. Suharjono

MOTTO PENGADILAN TINGGI BANTEN

 
 

 

Klik untuk mendengarkan teks yang sudah di blok Pendukung Untuk Pengguna Difabel