Selamat datang di situs resmi Pengadilan Tinggi Banten   Klik untuk mendengarkan teks yang sudah di blok Selamat datang di situs resmi Pengadilan Tinggi Banten Pendukung Untuk Pengguna Difabel

Articles in Category: Artikel

Mencari Akar Masalah Penyebab Tiadanya Perkara Waris Adat Dalam Proses Sengketa Pada Peradilan Umum Suatuparadoksal Dalam Tinjauan Sistem Hukum Nasional

on Tuesday, 29 April 2025. Posted in Artikel

Mencari Akar Masalah Penyebab Tiadanya Perkara Waris Adat Dalam Proses Sengketa Pada Peradilan Umum Suatuparadoksal Dalam Tinjauan Sistem Hukum Nasional

MENCARI AKAR MASALAH PENYEBAB TIADANYA PERKARA WARIS ADAT DALAM PROSES SENGKETA PADA PERADILAN UMUM SUATUPARADOKSAL DALAM TINJAUAN SISTEM HUKUM NASIONAL

oleh : Dr. H. SUHARJONO, S.H., M.Hum.

Ketua Pengadilan Tinggi Banten

 

A. Abstrak

Dalam suatu komunitas masyarakat pada suatu negara, akan berlaku suatu sistem hukum. Di Negara Indonesia secara empiris berlaku khususnya mengenai sengketa waris dalam proses peradilan adalah sistem hukum Islam, sistem hukum adat dan sistem hukum barat. Masing-masing sistem hukum tersebut idealitasnya harus tetap eksis, tiada penisbian eksistensinya oleh antar sistem hukum itu sendiri. Tidak boleh terjadi penisbian berlakunya sistem hukum oleh satu sistim hukum terhadap sistem hukum yang lain, yang mengakibatkan salah satu sistem hukum menjadi tidak eksis lagi keberadaannya.

Secara das sollen yang ideal, ketiga sistem hukum yang ada tetap eksis, meski secara das sein bisa terjadi peniadaan salah satu sistem hukum terhadap yang lain, sebagai akibat keberadaan salah satu sistem hukum pada tataran peraturan perundangannya memberlakukan suatu ketentuan yang menyangkut kewenangan proses peradilan yang mengenai sebagian besar komunitas yang masuk dalam proses kewenangan dalam sistem hukum yang berbeda atau berlainan sistem hukumnya. Meski sebenarnya bisa terjadi justru secara substantif sesuai kewenangan proses peradilannya tidak memberlakukan esensi sistem hukumnya yang merupakan keharusan, melainkan memberlakukan esensi ketentuan hukum sistem hukum lain sehingga bersifat paradoksal.

 

B. Pendahuluan

Pada suatu komunitas masyarakat dalam suatu negara secara realitas dapat berlaku lebih dari satu sistem hukum. Dalam sistem kewarisan, pada masyarakat Indonesia pada prinsipnya berlaku 3 sitem hukum, yakni sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum barat.

Secara ideal, pada prinsipnya ketiga sistem hukum tersebut harus tetap eksis, keberadaannya bersifat sebagai sistem hukum yang sinergis, berkeseimbangan, berkesejajaran, dalam makna esensi dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat sebagai hukum yang hidup dan dalam proses sengketa dalam proses peradilan.

Namun nuansa yang bersifat idealitas tersebut tidak selamanya menjadi realitas. Secara empiris bisa yang terjadi justru sebaliknya. Hal ini terjadi jika suatu sistem hukum dari sistem yang ada menjadi kehilangan eksistensinya akibat diberlakukan suatu ketentuan atau norma yang bersifat mencabut kewenangan dari salah satu sistem hukum terhadap sistem hukum lain. Namun menjadi suatu yang bersifat paradoksal setelah menjadi kewenangannya malah justru tidak memberlakukan secara substantif esensi normatif sesuai sistem hukumnya. Melainkan malah memberlakukan esensi normatif dari sistem hukum lain, sehingga bersifat paradoksal.

 

C. Permasalahan

1.      Apakah sistem hukum waris adat masih eksis berlaku dalam proses sengketa waris adat pada proses peradilan ?

2.      Bagaimana penerapan sistem hukum waris dari sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum barat dalam proses perkara di peradilan ?

3.      Mengapa penerapan sistem hukum waris yang berlaku bersifat paradoksal ?

 

D. Pembahasan

1. Apakah sistem hukum waris adat masih eksis dalam sengketa waris adat dalam proses di peradilan umum ?

Disini yang dipermasalahkan adalah hakikat atau ontologi dari sesuatu yakni pertanyaan mengenai apakah sistem hukum waris adat masih berlaku dalam proses sengketa di peradilan. Tentu secara sederhana bisa saja dijawab dengan ketentuan yang bersifat normatif sebagai hukum positif, sebagai hukum yang berlaku. Namun kiranya bukan sesederhana demikian untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan atau permasalahan yang bersifat ontologis. Kiranya untuk memberikan jawaban yang bersifat demikian perlu kajian yang mendalam.

Dalam kajian ontologis perlu dimulai dari analisis suatu sistem hukum khususnya sistem hukum waris yang ada yang seharusnya menjadi dasar berlakunya norma positif sebagai hukum yang berlaku.

Sistem hukum termasuk sistem hukum waris harus menjadi dasar adanya norma atau ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga ketentuan perundang-undangan sebagai norma positif yang berlaku harus didasarkan pada sistem hukum yang ada. Suatu ketentuan perundang-undangan yang berlaku selain harus berdasarkan sistem hukum yang ada, juga tidak boleh bertentangan atau tidak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku yang mendasarinya. Dalam hal ini termasuk peraturan perundang-undangan yang menyangkut hukum waris harus sesuai dengan sistem hukum waris yang mendasarinya. Sehingga dalam peraturan perundangan pewarisan Islam harus sesuai dengan sistem hukum waris Islam, dalam peraturan perundangan-undangan yang menyangkut pewarisan adat yang berlaku harus sesuai dengan sistem hukum adat dan dalam peraturan perundang-undangan yang memberlakukan hukum barat harus sesuai dengan sistem hukum barat.

Dalam masyarakat, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sebelum model kewengan absolut dalam pewarisan pemeluk agama Islam, berlaku model pilihan hukum, boleh memilih hukum mana dalam hal terjadi sengketa warisan apakah ke peradilan umum atau peradilan agama, namun sejak berlakunya model kewenangan absolut dalam proses peradilan bagi pemeluk Islam harus ke peradilan agama dalam hal terjadi sengketa waris, maka semua proses sengketa waris bagi pemeluk Islam harus di peradilan agama. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam maka jika terjadi sengketa waris harus dilakukan di peradilan agama.

Sejak berlakunya ketentuan model absolutisme kewenangan bukan lagi model pilihan hukum, karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam maka hampir semua proses sengketa waris termasuk sengketa waris adat harus dilakukan di peradilan agama, sehingga akibatnya sistem hukum waris adat kehilangan eksistensinya.

2. Bagaimana penerapan hukum waris dari sistem hukum yang berlaku, yakni sistem waris hukum adat, sistem waris hukum Islam dan sistem waris hukum barat dalam proses sengketa di peradilan ?

Pada prinsipnya suatu norma hukum yang berlaku harus berdasarkan suatu sistem hukum tertentu yang melandasi berlakunya. Termasuk pembuatan peraturan perundang-undangan, pemberlakukan dan penerapannya harus berdasar sistem hukum yang berlaku. Suatu sistem hukum yang berlaku harus dijaga keberadaannya agar tetap eksis, tidak boleh peraturan perundang-undangan bertentangan, meniadakan atau menisbikan sistem hukum yang melandasinya. Sistem hukum secara idealitas sedapat mungkin sebagai suatu realitas dalam suatu komunitas kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut terejawantahkan dalam bentuk norma-norma hukum positif, yang biasanya terwujud dalam peraturan perundang-undangan sebagai noma positif yang berlaku pada suatu negara. Oleh karena dalam sistem hukum waris nasional yang berlaku adalah sistem waris hukum Islam, sistem waris hukum adat dan sistem waris hukum barat, maka ketiga sistem hukum waris tersebut harus tetap terjaga eksistensinya secara baik, seimbang, paralel dan masing-masing harus dijaga dan dihormati eksistensi oleh negara. Tidak pada tempatnya perlakuan terhadap ketiga sistem hukum yang berlaku secara tidak seimbang, harmoni dan adil. Tidak boleh memberlakukan salah satu sistem hukum diatas sistem hukum yang lain. Sehingga dalam pembentukan suatu undang-undang harus dilandasi suatu sistem hukum atau dapat dikatakan suatu undang-undang sebagai wujud dari suatu sistem hukum, maka undang-undang yang memberlakukan hukum waris Islam harus sesuai sistem hukum waris Islam, demikian untuk ketentuan hukum adat harus sesuai dengan sistem hukum waris adat dan untuk ketentuan hukum barat harus sesuai sistem hukum waris barat, yang eksistensinya masing-masing harus tetap terjaga secara baik dan seimbang.

Negara dalam membentuk suatu undang-undang yang terkait dengan pemberlakuan sistem hukum waris, tidak hanya semata-mata memperhatikan segi formalitasnya yakni dalam hal terjadi sengketa dalam proses peradilan yang menyangkut pihak-pihak dalam sengketa warisan, melainkan hal yang penting perlu diperhatilan juga adalah substansi hukum waris itu sendiri yang harus keduanya dijaga secara seimbang, harmonis dan sinergis. Jika substansi hukum waris yang dijadikan dasar pijakan dalam perberlakuan hukum waris bukan formalitasnya yang menyangkut pihak-pihak dalam sengketa dalam proses peradilan, maka dengan sendirinya akan terjadi harmoni eksistensi sistem hukum waris, antar sistem hukum waris, secara baik dan harmonis.

Negara wajib menjaga eksistensi masing-masing sistem hukum waris, hukum waris dan penerapan hukum waris dalam kehidupan sosial masyarakat secara empiris, juga dalam penerapan dalam proses peradilan pada peradilan umum, peradilan agama secara sama, seimbang, harmoni, sinergis dan proporsional.

Penerapan sistem hukum waris secara substantif harus bersifat harmoni dan seimbang dengan pengertian: untuk perkara-perkara yang substantifnya sebagai perkara sengketa hukum waris adat jika terjadi proses sengketa di dunia peradilan maka merupakan kewenangan hukum bagi peradilan umum, untuk perkara waris Islam pada peradilan agama, dan untuk perkara waris barat berlaku hukum barat dan kewenangan pada peradilan umum.

3. Mengapa penerapan sistem hukum waris yang berlaku dalam proses peradilan bersifat paradoksal ?

Setelah berlaku ketentuan kewenangan absolut bagi pemeluk agama Islam, sebagai kewenangan peradilan agama jika terjadi sengketa waris dalam proses peradilan bukan bersifat sebagai pilihan hukum seperti ketentuan norma hukum sebelumnya maka mengingat komunitas penduduk Indonesia yang terbesar adalah beragama Islam, maka jika terjadi suatu sengketa waris pihak-pihaknya beragama Islam yang berlaku ketentuan proses sengketa pada peradilan agama. Namun apakah dengan sendirinya akan berlaku secara substantif norma-norma hukum Islam atau syariat Islam sebagaimana mestinya dalam penerapannya pada proses sengketa di peradilan agama.

Dalam proses sengketa waris di peradilan agama akan berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang memberlakukan ketentuan warisan bagi para ahli waris adalah sama bagi seluruh ahli waris. Hal ini berbeda dengan norma syariat Islam pada Surat Annisa ayat 11, yang menentukan pembagian warisan dengan perbandingan satu banding dua antara anak perempuan dengan anak laki-laki. Jiwa atau esensi dari Surat Annisa ayat 11 tersebut dalam sistem warisan hukum adat yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat diluar proses sengketa di peradilan berlaku norma sak gendong dibanding sepikul atau 1 dibanding 2 bagian antara bagian perempuan dengan laki-laki.

Secara empiris, dalam kehidupan masyarakat Jawa, pembagian waris 1 dibanding 2, yang merupakan penyerapan hukum dari norma syariat Surat Annisa ayat 11 dan berlaku secara luas dan turun temurun adalah sistem hukum pembagian waris secara hukum adat yang sesuai syariat Islam. Pada kondisi demikian terjadi proses penyerapan sistem pembagian waris Islam dalam sistem pembagian warisan hukum adat, yang bersifat akulturatif, harmoni dan suka rela. Disini tidak terdapat hegemoni oleh salah satu sistem hukum terhadap yang lain. Hal itu terjadi dalam proses panjang dan bersifat mensejarah turun temurun dan meluas dengan tanpa memperhatikan lagi apa agamanya dan sebagai suatu sistem hukum yang hidup dan sebagai suatu hukum yang eksis dan berlaku.

Harmonisasi eksistensi dan pemberlakuan sistem hukum waris Islam dengan sistem hukum waris adat, yang berlaku dalam waktu yang panjang, turun temurun dan masif sifatnya sebagai norma sosial masyarakat adat adalah tidak dengan sendirinya akan berlaku jika terjadi proses sengketa waris di peradilan karena menyangkut sebagian besar penganut agama Islam yang secara absolut merupakan kewenangan peradilan agama dan berlaku sistem hukum waris Islam. Ternyata pada tataran idealitas yang harus bersifat demikian itu tidaklah berlaku, karena secara realitas dalam proses sengketa waris di peradilan agama yang berlaku adalah Kompilasi Hukum Islam. Secara prinsip sebenarnya pada tataran idealitas seharusnya suatu sistem hukum yang berlaku terdapat kesesuaian antara ketentuan normatif dengan realitas empirisnya. Dalam kondisi demikian pada sistem waris adat seharusnya berlaku ketentuan hukum waris adat, dalam sistem waris Islam berlaku hukum Islam dan dalam sistem waris hukum barat berlaku hukum barat. Tidak boleh terjadi pemberlakuan sistem hukum waris dari ketiga sistem hukum waris tersebut secara paradoksal. Dalam hal secara realitas, suatu sistem hukum seolah-olah diberlakukan dalam proses peradilan tertentu tetapi secara realitas substantif hukum atau esensi hukumnya adalah tidak berlaku melainkan malah sistem hukum lain.

Secara realitas pada proses sengketa waris pada peradilan agama yang berlaku adalah Kompilasi Hukum Islam. Pada Kompilasi Hukum Islam, esensi hukum waris yang berlaku terhadap anak perempuan dan laki-laki adalah sama bagian warisannya, yakni satu banding satu, bukan satu banding dua, sebagaimana ketentuan pada Surat Annisa ayat 11, dan bukan seperti hukum waris adat, yang esensi pewarisan adalah untuk perempuan dan laki-laki satu berbanding dua dan ketentuan pewarisan hukum adat tersebut bersifat turun menurun berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat luas.

Dalam proses sengketa di peradilan agama, dalam pembagian waris berlaku ketentuan pada Kompilasi Hukum Islam, yang membagi bagian warisan pada seluruh ahli waris baik laki-laki maupun perempuan adalah sama, yakni satu banding satu, yang hal ini sama dengan sistem pembagian warisan menurut sistem hukum barat.

E. Penutup

Jika masyarakat membawa sengketa waris pada proses peradilan agama, dengan mempercayai akan berlaku sistem hukum Islam dengan pembagian warisan antara anak perempuan dan laki-laki adalah satu dibanding dua bagian, dalam proses sengketa warisan di peradilan agama tidak akan mendapatkan pemberlakuan sistem hukum Islam yang bersifat demikian melainkan akan mendapat pembagian warisan yang sama bagiannya bagi anak perempuan dan laki-laki, yang pembagian warisan demikian pada prinsipnya sama esensinya dengan sistem pembagian warisan dalam hukum barat yakni sama-sama prinsip pembagian warisan sama satu banding satu.

Disadari atau tidak, dengan berlakunya ketentuan dalam proses sengketa dengan pembagian sama besar atau satu banding satu, jika terjadi pembagian warisan dalam proses peradilan agama, yang hal ini sama dengan ketentuan pewarisan dalam sistem waris hukum barat, maka secara substantif adalah esensi hukum sistem hukum barat, sehingga pembagian warisan dalam proses sengketa pada peradilan agama adalah bersifat paradoksal dari ketentuan sistem pembagian warisan sesuai ketentuan substantif yang seharusnya.

Memahami Urgensi Asesmen Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Organisasi Suatu Tinjauan Hakikat

on Tuesday, 29 April 2025. Posted in Artikel

Memahami Urgensi Asesmen Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Organisasi Suatu Tinjauan Hakikat

MEMAHAMI URGENSI ASESMEN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS ORGANISASI SUATU TINJAUAN HAKIKAT

oleh : Dr. H. SUHARJONO, S.H., M.Hum.

Ketua Pengadilan Tinggi Banten

 

Disadari atau tidak, pada dasarnya setiap orang, baik sebagai pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain dalam suatu organisasi, akan berusaha sedemikian rupa agar jati dirinya tetap berada atau eksis, bahkan sedapat mungkin untuk meningkatkan kualitasnya. Secara empiris akan ditempuh berbagai upaya guna mewajudkan impian tersebut.

Secara antropologi budaya dan sosiologis, telah terjadi berbagai upaya guna peningkatan kualitas yang berkembang terus dari waktu ke waktu sesuai proses waktu dan zamannya. Dari bentuk dan kelompok masyarakat yang masih amat sederhana, dalam mencari nafkah pun masih nomaden, berkembang menjadi masyarakat yang lebih maju kebudayaannya, terus mengalami proses perubahan dan kemajuan ke bentuk masyarakat yang berkebudayaan maju, seperti pada masyarakat modern dan ultra modern.

Pada hakikatnya proses-proses perubahan pada masyarakat tersebut juga terjadi pada suatu organisasi baik organisasi yang berbentuk negara maupun organisasi lain, seperti organisasi politik, organisasi sosial, organisasi agama, organisasi ekonomi dan lain-lain, yang pada dasarnya karena proses waktu dan zaman, mengalami suatu perubahan guna mempertahankan eksistensi, termasuk harus meningkatkan kualitas organisasi.

Penjagaan kualitas eksistensi organisasi akan tetap berjalan dengan memperhatikan berbagai unsur yang mempengaruhi dan kepentingan-kepentingan yang menyertai. Berbagai unsur yang mempengaruhi akan tergantung pula pada berbagai variabel pengaruh seperti bentuk, tujuan, visi dan misi organisasi. Hal ini akan melahirkan pula kebijakan, keputusan dan langkah-langkah organisasi, yang dilandasi berbagai kepentingan dalam upaya mempertahankan diri dan peningkatan kualitas diri suatu organisasi.

Proses-proses dalam rangka eksistensi organisasi, tidak akan lepas dari nilai diri organisasi, terutama pada nilai mindset dan cultureset. Perubahan pola pikir atau mindset organisasi atau masyarakat akan berkaitan dengan perkembangan filsafat logika atau filsafat pola pikir, dan cultureset atau perubahan budaya khususnya budaya kerja terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Esensi filsafat logika atau pemikiran akan melahirkan berbagai ilmu pengetahuan, sedang dari berbagai ilmu pengetahuan akan melahirkan atau berkaitan dengan budaya organisasi, termasuk budaya kerja organisasi didalamnya.

Dalam kajian ontologis, kajian yang mempertanyakan hakikat sesuatu, yang dicari adalah hakikat yang ada atau yang mungkin ada dari sesuatu. Oleh karena yang dicari dari suatu organisasi adalah eksistensi, maka nilai dari eksistensi organisasi obyeknya termasuk dalam hal terjadi asesmen.

Terkait dengan asesmen, yang pada hakikatnya adalah suatu penilaian, maka yang menjadi obyek penilaian dalam asesmen dapat berupa suatu nilai atau bobot atau mutu dari organisasi. Dengan asesmen, suatu organisasi dalam segala aspeknya akan dinilai. Penilaian dalam asesmen harus menggunakan tolok ukur atau patokan atau standar, yang bersifat obyektif, holistik, logis, adil, transparan fan pasti, yang pada hakikatnya adalah sebagai ukuran dari suatu kebenaran atas suatu nilai.

Tentang hakikat kebenaran itu sendiri jika dikaitkan dengan realitas sosial, suatu kebenaran dapat ditempatkan pada beberapa kategori, yang berupa :

  1. Kebenaran metafisik, yakni kebenaran yang berkaitan dengan suatu dogma, yang bersifat abstrak, tidak dapat diuji kebenarannya melalui justifikasi, verifikasi, falsifikasi. Kebenaran ini biasanya terkait dengan kebenaran dogma agama, yang ditempatkan pada kebenaran yang bersifat mendasar, kebenaran yang tertinggi dan absolut, sebagai kebenaran yang bersifat harus diterima apa adanya.
  2. Kebenaran etika, yakni kebenaran yang bersifat sosial kemasyarakatan atau adat, disini kebenaran yang diukur adalah perilaku, yang bersifat pantas atau tidak pantas, baik atau buruk, beradat atau tidak beradat, beradab atau tidak beradab, dan lain-lain.
  3. Kebenaran logika, disini kebenaran diukur dari logis atau tidaknya sesuatu, berdasar analisis menurut sistim yang sudah diterima.
  4. Kebanaran empiris, sebagai kebenaran yang didasarkan pada fakta atau kenyataan yang bersifat dapat diindera dan dilakukan pembuktian dengan sistem kebenaran ilmiah.

Berbeda dengan pengkategorian kebenaran dalam struktur sosial kemasyarakatan, kebenaran secara teoritis dapat digolongkan pada paham berupa:

  1. Kebenaran korespondensi, adalah suatu paham teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu pernyataan dinyatakan benar jika sesuai dengan kenyataan atau fakta. Dengan teori korespondensi ilmu pengetahuan berkembang, karena secara ilmiah kebenaran ilmu pengetahuan berangkat dari pembuktian empiris atau nyata, yakni sesuatu itu benar jka sesuatu itu sesuai dengan faktanya.
  2. Kebenaran koherensi, teori kebenaran ini menyatakan bahwa sesuatu itu benar jika sesuatu itu bersifat konsisten, yakni adanya konsistensi suatu pernyataan dengan pernyataan yang lain yang sudah terlebih dahulu diterima dan diakui sebagai suatu kebenaran. Kebenaran menurut teori koherensi dikonstruksi atas dasar logika dengan mendasarkan pada kebenaran yang bersifat logis.
  3. Kebenaran pragmatis, menurut teori ini, benarnya sesuatu itu dilihat dari nilai guna dan fungsionalnya. Untuk teori ini menempatkan kebenaran, adalah sesuatu sebagai benar jika memiliki kegunaan praktis bagi kehidupan, sehingga benar tidaknya sesuatu tergantung dari nilai atau sifat kemanfaatannya.

Mengingat asesmen pada hakikatnya adalah suatu penilaian, maka memerlukan seperangkat variabel penentu sebagai ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan suatu kebenaran. Kebenaran disini dimaksudkan untuk menentukan validitas atau sah tidaknya suatu temuan dalam asesmen. Mengingat begitu pentingnya nilai kebenaran yang dicari sebagai bukti dari suatu temuan, maka penentuan suatu nilai kebenaran yang dapat diterima oleh masyarakat secara masif, haruslah bersifat komprehensif, holistik, horizontal dan vertikal, obyektif, adil, ilmiah, bernilai bagi pengembangan kualitas dan eksistensi organisasi, dalam segala bentuknya.

Apalagi mengenai kebenaran itu sendiri terdapat terdapat berbagai paham, pandangan dan konsep, yang bersifat berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Belum lagi ukuran kebenaran dalam realitas sosial sendiri sudah berbeda-beda, ditambah jika ditinjau kebenaran itu dari teori kebenaran yang juga berbeda-beda, padahal esensi dari nilai kebenaran itu yang disesmen untuk ditemukan. Terlebih jika terdapat unsur kepentingan turut serta dalam proses asesmen, yang bisa terjadi absurditas terhadap nilai kebenaran dan penisbian nilai kebenaran dari kepentingan.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, perlu kiranya dilakukan upaya untuk menentukan solusi logis pemikiran, sebagai diagnosis pemecahan masalah secara baik, bijak, komprehensif, holistik, harmoni, obyektif dan adil sebagai perwujudan filosofi harmonisasi bagi berbagai kepentingan, hak, kewajiban, nilai kebenaran organisasi.

Dari pemahaman diatas, dalam menentukan ukuran pedoman nilai-nilai kebenaran dalam asesmen, harus memperhatikan aspek kebenaran yang bersifat sensitif, yakni kebenaran metafisika yang bersifat dogmatis, abstrak, tidak dapat dijustifikasi, diverifikasi, dan difalsifikasi karena sebagai kebenaran yang bersifat absolut, maka tidak boleh dibenturkan atau disebandingkan atau dijadikan alternatif pilihan dengan penilaian kebenaran lain dalam struktur sosial masyarakat maupun menurut paham atau teori kebenaran, apalagi jika dikaitkan kebenaran metafisika yang bersifat absolut dengan kepentingan.

Kiranya dalam suatu asesmen sebagai penentu dalam kebenaran, dapat menggunakan tolok ukur yang tepat,benar,harmoni, obyektif, adil, komprehensif dan holistik, berdasarkan kajian filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sensitif terjadinya pembenturan nilai-nilai kebenaran, dan kepentingan untuk dihindari. Tolok ukur dalam asesmen haruslah bersifat dapat membangun, meningkatkan kualitas dan eksistensi organisasi.

Asesmen sebagai upaya penciptaan nilai kebenaran dalam penentuan kualitas eksistensi organisasi, harus bersifat mengikuti perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan terkini, sehingga kualitas asesmen bersifat valid dan dapat dipercaya.

Selain masalah ukuran patokan dalam asesmen, pihak yang melakukan asesmen juga harus memiliki kapasitas dan validitas, berdasar standar yang bersifat profesional dan fungsional, bukan semata dalam tataran struktur tertentu, mengingat asessor sebagai pihak yang secara empiris sebagai pelaku penentu nilai kebenaran dalam asesmen. Disini asessor dituntut memiliki sikap profesional, obyektif, adil, transparan, bijaksana, mumpuni dalam kapasitas dan sikap, dan out put kinerjanya bersifat valid sehingga dapat dipercaya.

Dengan dilakukan asesmen, diharapkan dapat mewujudkan nilai-nilai kebenaran dalam upaya peningkatan kualitas eksistensi organisasi, bukan sebaliknya menciptakan absurditas nilai kebenaran karena ketidakpahaman atas hakikat kebenaran, terlebih terdapat adanya aspek kepentingan. Kiranya profesionalisme dalam asesmen sebagai ukuran dalam penentuan tidak terjadinya mal administrasi dan mal fungsi dari asesmen.

Urgensi Manajemen Risiko Dalam Tata Kelola Manajemen Organisasi

on Tuesday, 29 April 2025. Posted in Artikel

URGENSI MANAJEMEN RISIKO DALAMTATA KELOLA MANAJEMEN ORGANISASI

URGENSI MANAJEMEN RISIKO DALAMTATA KELOLA MANAJEMEN ORGANISASI

 

Oleh:  Dr. Suharjono

 

Terdapat  perkembangan yang cukup menggembirakan karena banyak organisasi baik lembaga pemerintah maupun lembaga swasta, semakin berkembang dalam mutu atau kualitas kearah perbaikan dan penyempurnaan, dari yang kurang menjadi lebih bermutu, bahkan menjadi titik ukur dalam menentukan mutu organisasi yakni manajemen risiko.

Meskipun demikian sampai saat ini secara relatif belum begitu dipahami oleh sebagian organisasi mulai dari pengertian, fungsi, tujuan, nilai, sampai pada bagaimana terapan dari manajemen risiko. Hal ini dapat dimaklumi mengingat masih kurangnya pencerahan, pembinaan, sosialisasi, pelatihan, minat dan sarana dan prasarana yang terkait dengan manajemen risiko masih relatif terbatas. Padahal pada hakikatnya terhadap setiap organisasi apapun bentuknya pasti menghadapi suatu ketidakpastian yang akan terjadi dalam bentuk peluang dan ancaman pada proses pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.

Kondisi pada setiap organisasi yang bersifat demikian tersebut harus disadari secara maknawi dan mendalam agar terdapat efektivitas dan efisiensi organisasi dalam mencapai sasaran organisasi. Di sisi lain atas hakikat dari risiko itu sendiri bukan sesuatu hal yang mudah untuk dipahami. Hal ini mengingat dasar dari suatu risiko adalah sesuatu yang akan terjadi  dan bersifat sebagai sesuatu yang tidak pasti. Sehingga perlu upaya-upaya pemahaman atas suatu risiko secara mendalam dan serius hingga pada tingkatan dimungkinkan akan mampu memprediksi risiko-risiko dan mengelola risiko-risiko secara baik, tepat dan benar.

Risiko pada hakikatnya sebagai suatu ketidakpastian yang akan terjadi yang berdampak pada sasaran dari suatu organisasi. Dari hakikat risiko yang bersifat demikian, maka risiko adalah sebagai sesuatu hal yang belum terjadi, yang akan kemungkinan akan terjadi pada saat kemudian. Maka dengan demikian, risiko dapat dimaknai sebagai potensi yang akan terjadi baik yang bersifat positif maupun negatif terhadap sasaran organisasi.

Sasaran organisasi bisa berupa visi, misi nilai-nilai dan filosofisi organisasi, dan juga berupa sasaran jangka panjang, menengah dan pendek. Sasaran utama atau tingkat pertama bersifat normatif atau abstrak,konseptual, ideal  berupa nilai-nilai umum dan bersifat filosofis. Pada sasaran tingkat kedua berupa strategi jangka panjang dan menengah, penentuan pilihan portofolio aktivitas, arah tugas dan fungsi, kebijakan penggunaan sumber daya, disini mulai dipertimbangkan potensi-potensi risiko. Pada tingkat ketiga, sebagai level fungsional dan implementasi atas strategi yang telah dirumuskan. Pada level ini sasaran bersifat detail dengan angka-angka dan jenis atau item sasaran dengan pertimbangan risiko sudah diintegrasikan di dalamnya.

Hakikat risiko yang terkait dengan sasaran organisasi harus dipahami dengan baik, tepat dan benar mengingat pada tataran empiris berdasarkan observasi obyektif dan analisis yang mendalam, pengertian risiko tersebut  banyak ditumbuhkan atau disalah artikan dengan pengertian atau hakikat dari masalah pada organisasi. Masalah pada prinsipnya sebagai suatu peristiwa yang berdampak negatif dari sasaran organisasi.

Dengan demikian masalah sebagai peristiwa yang sudah terjadi. Namun meski bersifat sebagai peristiwa yang sudah terjadi, peristiwa itu akan dapat juga berdampak ke depan yang bersifat negatif, yang dimungkinkan akan menjadi krisis dan dapat berakibat fatal berupa bencana jika tidak dikelola secara baik. Pada masalah dari organisasi ke depannya perlu tindakan dengan pendekatan manajemen krisis, berbeda halnya dengan penanganan atau tata kelola atas risiko organisasi yang ke depannya perlu dilakukan suatu tindakan yang bersifat antisipatif sebagai jaminan yang wajar atas pencapaian suatu sasaran dengan pendekatan manajemen risiko.

Atas risiko yang memungkinan akan terjadi dengan hakikat atau pengertian  tersebut, perlu dilakukan suatu tata kelola risiko secara baik, agar tidak menimbulkan kerugian di kemudian hari. Sehingga tata kelola atau manajemen risiko dimaksudkan atau ditujukan untuk melindungi nilai dan menciptakan nilai pada suatu organisasi dengan cara melakukan pengelolaan risiko, pengambilan keputusan, penetapan sasaran, upaya pencapaian dan perbaikan-perbaikannya.

Pengelolaan risiko merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kepemimpinan dan tata kelola organisasi, hal ini merupakan bagian dari kegiatan-kegiatan dan proses-proses organisasi, dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal organisasi, faktor SDM,  budaya, prinsip-prinsip kerangka kerja dan proses-proses yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, manajemen risiko sebagai aktivitas organisasi yang terorganisir, dan terarah berkaitan dengan risiko organisasi. Sedangkan prinsip risiko sebagai acuan dalam pelaksanaan manajemen risiko. Kerangka kerja sebagai landasan dan pengaturan organisasi guna pelaksanaan atau penetapan manajemen risiko dan proses manajemen risiko sebagai rangkaian kegiatan manajemen risiko per masing-masing risiko dan secara kolompok sesuai dengan jenis sasaran yang terdampak, dengan kata lain proses manajemen risiko sebagai inti dari keseluruhan manajemen risiko.

Sedang proses manajemen risiko sebagai inti dari keseluruhan kegiatan risiko akan berkaitan dengan langkah-langkah yang dapat berupa:

1.     Pemahaman sasaran dan kaitannya dengan risiko,yang berupa peluang dan ancaman sebagai wujud dari ketidakpastian pada pencapaian sasaran;

2.     Identifikasi risiko, berupa pengidentifikasian atas kemungkinan risiko-risiko yang diprediksi akan terjadi, yang dilakukan secara komprehensif;

3.     Analisis risiko, sebagai analisis atas identifikasi risiko yang kemungkinan terjadi dan berapa besar dampaknya;

4.     Evaluasi risiko sebagai upaya pemilahan atas risiko dan perlakuan atas risiko-risikonya.

5.     Perlakuan risiko, sebagai perlakuan risiko-risiko yang telah ditentukan atas urutan evaluasi risiko sesuai kebutuhan.

Pada suatu aktivitas manajemen organisasi, masalah manajemen risiko harus dipahami sebagai bagian internal aktivitas organisasi secara menyeluruh, tidak lagi dapat dipandang hanya sebagai kebutuhan diluar aktivitas sistem organisasi secara keseluruhan. Sehingga dalam manajemen organisasi, masalah manajemen risiko sebagai inheren dan menjadi kewajiban untuk menempatkan manajemen risiko sebagai bagian dari sistem manajemen organisasi, artinya manajemen risiko dari sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian tata kelola manajemen organisasian, sudah harus dimasukkan sebagai bagian dari sistem dalam manajemen organisasi. Hal ini harus dilakukan karena dengan manajemen risiko adalah bertujuan untuk penciptaan nilai dan perlindungan nilai dari suatu organisasi.

Nilai dari organisasi akan dapat diciptakan dari manajemen risiko, karena terhadap risiko sudah diprediksi terlebih dahulu dengan pendekatan ilmu manajemen khususnya ilmu manajemen risiko, baik atas risiko berdampak positif maupun risiko berdampak negatif atas sasaran organisasi sekaligus strategi yang dilakukan sebagai upayanya, begitu pula dalam perlindungan risiko atas risiko organisasi dapat dilakukan dengan pendekatan berdasar pola yang sama dengan pendekatan penciptaan nilai sesuai sistem keilmuan manajemen risiko.

Sehingga terhadap nilai organisasi sesuai hakikat dan tujuan manajemen risiko yang bersifat penciptaan nilai dan perlindungan nilai organisasi, maka dengan manajemen risiko dimungkinkan terjadi suatu perlindungan dan penciptaan nilai pada SDM, barang dan anggaran atau uang dari organisasi, termasuk juga nilai-nilai selain nilai yang bersifat material yakni nilai yang bersifat immaterial.

Nilai immaterial organisasi bisa jadi lebih penting dan lebih besar artinya bagi suatu organisasi, mengingat organisasi telah membangun suatu image atau nama sudah berjalan lama, dalam proses yang panjang terus menerus, menjaga kualitas atau mutu atas suatu nama organisasi.

Dengan demikian, penciptaan nilai dan perlindungan nilai dari suatu organisasi, bersifat urgen atau penting dengan pendekatan manajemen risiko karena manajemen risiko bersifat mentata kelola risiko dari proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga pengendalian atas seluruh atas aktivitas organisasi dengan kemungkinan-kemungkinan risiko yang akan terjadi secara terpola dan tersistem dengan baik berdasarkan manajemen risiko dalam tata kelola manajemen organisasi. LDR

Klik untuk mendengarkan teks yang sudah di blok Pendukung Untuk Pengguna Difabel